Beranda | Artikel
Pentingnya Barang Bukti Dalam Muamalah
Selasa, 1 April 2014

Pendahuluan

Alhamdulillah. Shawalat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya.

Agar kisah pilu tentang pengkhianatan di antara sesama muslim segera berakhir. Agar Anda selamat dari kenakalan saudara atau teman sendiri, dan hak-hak Anda dapat kembali, maka berniagalah sesuai dengan syariat Islam. Singkirkan perasaan sungkan atau segan, dan kedepankanlah seruan iman Anda, sehingga Anda berlapang dada untuk menjalankan syariat Allah. Percayalah bahwa etika yang paling mulia dan ukhuwwah yang paling sempurna ialah yang dibangun di atas syariat Allah.

Mari kita memperhatikan wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para pedagang berikut ini:

Wahai para pedagang!” Maka mereka memperhatikan seruan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka mengarahkan leher dan pandangan mereka kepada beliau. Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya para pedagang akan dibangkitkan kelak pada hari kiamat sebagai orang-orang fajir (jahat) kecuali pedagang yang bertakwa kepada Allah, berbuat baik, dan berlaku jujur.” (Riwayat at-Tirmidzi hadis no.1210)

Berbagai alasan melatarbelakangi terjadinya kondisi semacam ini, namun di antara faktor paling menonjol ialah sifat serakah yang telah menguasai jiwa banyak orang.

Tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh dua ekor serigala kelaparan yang dilepaskan di kandang domba tidaklah melebihi tingkat kerusakan pada agama manusia akibat adanya ambisi terhadap harta kekayaan dan kedudukan.” (HR. Ahmad, 3:456 dan At-Tirmidzi hadis no. 2376)

Minta atau Buatlah Bukti Tulisan Berupa Kuitansi atau Lainnya

Legalkan segala bentuk aktivitas Anda ketika berniaga, baik yang berupa penawaran, penjualan, pembayaran, penyerahan barang, atau lainnya. Dengan adanya alat bukti berupa hitam di atas putih, yang berupa nota, atau kuitansi, atau surat perjanjian, maka segala yang menjadi hak dan kewajiban Anda jelas dan aman. Alat bukti berupa tulisan menghindarkan Anda dari unsur lupa, penipuan, atau perselisihan.

Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.” (QS. Al-Baqarah: 282)

Saudaraku, pada ayat ini Allah Ta’ala menekankan agar Anda tidak enggan untuk membuat alat bukti berupa tulisan, walau nilai transaksi Anda hanyalah kecil. Demikian pula halnya, hendaknya Anda tidak enggan membuat alat bukti walaupun Anda bertransaksi dengan kerabat atau sahabat karib.

Abdul Majid bin Wahb mengisahkan bahwa Al-Adda bin Khalid bin Hauzah berkata kepadaku, “Sudikah engkau aku bacakan kepadamu surat yang dituliskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untukku?” Aku pun menjawab, “Tentu.” Kemudian ia mengeluarkan secarik surat yang berisikan: “Inilah penjualan Al-Adda bin Khalid bin Hauzah kepada Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia (Al-Adda) menjual kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang budak laki-laki atau budak perempuan. Seorang budak sehat dan tidak sedang sakit, tidak berperangai buruk, tidak juga ada pengelabuan, sebagaimana lazimnya penjualan orang muslim kepada orang muslim lainnya.” (Riwayat at-Tirmidzi hadis no. 1216)

Fakta di lapangan membuktikan bahwa persengketaan niaga paling sering terjadi antara sahabat atau kerabat. Yang demikian itu dikarenakan ketika mereka bertransaksi hanya mengandalkan kepercayaan belaka. Dan adanya perasaan aman semacam ini menjadikan kedua belah pihak meremahkan sehingga mudah lupa dan khilaf.

Saudaraku! Di antara hal penting dalam pembuatan alat bukti tulisan, hendaknya Anda melegalkan atau menuliskan segala bentuk kesepakatan atau persyaratan dan konsekuensi antara Anda berdua. Jangan pernah biarkan hal apa pun yang dapat menimbulkan perselisihan tanpa Anda tuliskan.

Berbagai kesepakatan yang Anda tuangkan dalam nota perjanjian menjadi penentu dalam setiap perselisihan dan perbedaan pemahaman.

“Setiap orang muslim wajib memenuhi segala persyaratan yang telah mereka sepakati, kecuali persyaratan yang mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan yang haram.”

Abdurrahman bin Ghunem mengisahkan bahwa suatu hari ia menghadiri satu kasus persengketaan antara sepasang suami istri. Ketika akad nikah, sang istri mensyaratkan agar ia tetap menghuni rumahnya dan tidak dibawa berpindah rumah atau dibawa safar, dan kala itu, suaminya menyetujui persyaratan tersebut. Namun, di kemudian hari suami berubah pikiran dan hendak membawa pergi istrinya, sedangkan istrinya tidak sudi menurutinya. Menghadapi kasus ini, Khalifah Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu sebagai hakim memenangkan gugatan wanita tersebut, dan beliau berkata, “Wanita itu berhak menuntut persyaratannya.” Mendengar keputusan ini, salah seorang yang hadir berkata, “Bila demikian ini keputusan Anda, maka ini menjadi jalan bagi kaum istri untuk dapat menggugat cerai suami-suami mereka? Menanggapi pertanyaan ini, Khalifah Umar bin Khaththab menjawab:

“Sejatinya penentu hak dan kewajiban antara dua orang yang menjalin suatu akad ialah persyaratan yang telah disepakati bersama.”

Kisah ini menjadi bukti nyata betapa besar pengaruh kesepakatan Anda yang telah tertuan dalam perjanjian akad dan berkat kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian, wanita tersebut berhak menggugat suaminya. Penjelasan ini selaras dengan kasus yang dialami sendiri oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini.

Sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengisahkan:

“Pada suatu hari ada seseorang yang memiliki piutang seekor anak onta atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ketika piutang telah jatuh tempo dan ia datang menagih utangnya, ia berkata-kata keras kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tak ayal lagi para sahabat geregetan ingin menindak lelaki tersebut, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka, ‘Sejatinya pemilik hak memiliki wewenang untuk menuntut dan menghardik. Belikanlah seekor anak onta dan berikan kepadanya.’

Tanpa menunad-nunda, para sahabat segera mencari onta yang seumur dengan onta yang diutang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun mereka tidak mendapatkannya di pasar. Maka mereka kembali dengan bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Kami tidak mendapatkan onta yang dijual selain onta yang lebih besar dari onta miliknya.’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Belilah onta itu, lalu berikanlah kepadanya, orang yang paling baik di antara kalian adalah orang yang paling baik ketika membayar utang’.”

Datangkan Dua Orang Saksi

Keberadaan dua orang saksi, tentu sangat penting untuk menghindari terjadinya perselisihan antara Anda berdua. Dan perlu diingat bahwa orang yang Anda jadikan saksi hendaknya bukan sembarang orang, melainkan orang yang dapat dipercaya dan memiliki daya ingatan kuat.

Dan persaksikanlah kepada dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika tak ada orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa, maka seorang lagi mengingatkannya.” (QS. Al-Baqarah: 282)

Dan pada akhir ayat ini Allah, kembali Allah menekankan pentingnya persaksian dengan berfirman:

Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli.” (QS. Al-Baqarah: 282)

Ibnu Jarir menjelaskan makna ayat ini dengan berkata, “Allah memerintahkan agar Anda mempersaksikan setiap transaksi yang Anda lakukan, baik bernilai besar atau kecil, tunai atau terutang. Karena keringanan untuk tidak mempersaksikan hanya berlaku pada perniagaan yang dilakukan secara langsung dan dengan pembayaran tunai.

Adanya keringanan ini bukan berarti Anda leluasa untuk tidak mengabaikan perihal persaksian atas penjualan atau pembelian Anda. Alasan adanya perintah ini, karena melalaikan perihal persaksian dapat merugikan kedua belah pihak; penjual dan juga pembeli.

Pembeli bisa dirugikan bila penjual mengingkari penjualannya sedangkan sebagai pembeli Anda tidak mampu membuktikan pembelian Anda. Akibatnya uang yang telah Anda bayarkan tidak dapat kembali. Sebagaimana penjual dapat dirugikan bila pembeli mengingkari pembelian, padahal ia telah menikmati barang dan belum melakukan pembayaran. Adanya persaksian ini bertujuan melindungi hak kedua belah pihak, agar tidak ada sedikit pun dari hak mereka yang dirampas oleh pihak yang lain.” (Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari, 6:83)

Imam Bukhari meriwayatkan kisah Sahabat al-Asy’ats bin Qais radhiallahu ‘anhu yang bersengketa dengan seorang Yahudi perihal sumur. Maka keduanya mengangkat masalahnya ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menghadapi kasus meerka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Sahabat al-Asy’ats bin Qasi, “Datangkan dua orang saksimu! Kalau engkau tidak mendatangkan dua orang saksi, maka aku akan memutuskan berdasarkan sumpahnya.” Spontan Sahabat al-Asy’ats bin Qais radhiallahu ‘anhu menjawab, “Ya, Rasulullah, bila demikian ini proses pradilannya, maka ia pasti tidak sungkan-sungkan untuk bersumpah guna merampas hartaku? Menanggapi kerguan sahabatnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barang siapa dengan sengaja bersumpah palsu guna merampas harta orang, maka kelak ia akan menghadap kepada Allah, sedang Allah murka kepadanya.”

Kemudian Allah Ta’ala menguatkan penjelasan beliau dengan menurunkan ayat berikut:

Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji(nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka serta tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan menyucikan mereka, sebagaimana mereka juga mendapat adzab yang pedih.” (QS. Ali-Imran: 77)

Cermatilah saudaraku, pada kisah ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak memenangkan pengakuan orang Yahudi bila Sahabat al-Asy’ats bin Qais tidak berhasil mendatangkan dua orang saksi. Kisah ini menjadi bukti nyata bahwa keberadaan dua orang saksi sangat penting terutama ketika terjadi sengketa.

Hadis ini juga membuktikan bahwa ketika terjadi sengketa terlebih ketika telah sampai di majelis hakim, maka alat buktilah yang menjadi standar penilaian, bukanlah agama, persahabatan, atau kepercayaan yang bersifat pribadi.

Pungutlah Barang Gadai

Di antara alat bukti yang efektif untuk melindungi hak-hak Anda yang terutang ialah adanya barang gadai. Adanya barang gadai yang Anda terima menjadikan hak-hak Anda terlindungi. Ketika lawan transaksi Anda berbuat nakal, atau mengingkari hak Anda, atau bermalas-malasan dalam menyelesaikan kewajibannya, maka Anda berhak memungut hak Anda dari hasil lelang barang gadai tersebut.

Dengan memahami ini, Anda merasa aman atas hak-hak Anda, sebagaimana lawan transaksi Anda tidak lalai dalam menunaikan kewajibannya. Dan manfaat gadai semakin terasa ketika nilai jual barang gadai menyamai atau melebihi nominal hak Anda. Dalam kondisi semacam ini, sepenuhnya hak Anda aman, dan lawan transaksi Anda pun akan lebih berhati-hati.

Jika kamu dalam perjalanan (dan bertransasksi secara terutang) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang gadai yang diserahkan.” (QS. Al-Baqarah: 283)

Saudaraku, di masa-masa semacam ini, pengkhianatan merajalela, rasa takut kepada Allah seakan-akan telah sirna dan amanah seakan-akan telah punah. Sebab itu, Anda dituntut untuk lebih waspada. Sadarilah bahwa dalam pergaulan, Anda dihadapkan kepada permasalahan yang berbeda:

  1. Permasalahan sosial.
  2. Permasalahan komersial.

Dalam permasalahan sosial, Allah Ta’ala menyarankan agar Anda menyembunyikan berbagai bentuk sosial Anda, demi menjaga utuhnya keikhlasan Anda. Karena itu, sedekah paling utama ialah sedekah yang Anda rahasiakan, seakan-akan tangan kiri Anda tidak mengetahui apa yang dikeluarkan oleh tangan kanan Anda.

“Tujuh golongan orang yang kelak pada hari kiamat Allah menaungi mereka di bawah naungan-Nya, padahal tiada naungan selain naungannya: (1) Pemimpin yang adil, (2) Pemuda yang tumbuh besar dengan beribadah kepada Tuhannya (3) Lelaki yang senantiasa merindukan masjid (4) Dua orang yang saling mencintai karena Allah, mereka bersatu karena-Nya dan berpisah juga karena-Nya (5) Lelaki yang diajak oleh wanita berkedudukan sosial nan jelita, namun ia menolak dan berkata: ‘Sejatinya aku takut kepada Allah’, (6) Orang yang merahasiakan sedekahnya, seakan-akan tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya (7) Orang yang mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala di tempat sunyi, lalu ia meneteskan air mata.”

Adapun dalam urusan komersial, maka Islam menekankan agar Anda bersikap transparan dan melengkapi setiap transaksi Anda dengan alat bukti yang dapat diterima di pengadilan. Dengan memahami karakter kedua permasalahan ini, dengan izin Allah Anda dapat bersikap benar.

Penutup

Saudaraku, apa yang saya ketengahkan di hadapan Anda ini adalah penjabaran dari artikel sebelumnya yang menjelaskan tentang fakta adanya kenakalan dalam dunia perniagaan. Saya merasa perlu untuk lebih merinci permasalahan ini dikarenakan praktik kenakalan yang mendera saudara-saudara kita seakan-akan tiada hentinya dan seakan-akan semakin merajalela hingga daftar korbannya semakin panjang, dan bahkan menimpa karib kerabat dan sahabat karib sendiri.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua, agar dapat istiqamah di atas jalan kebenaran. Wallahu Ta’ala a’lamu bishshawab.

Sumber: Majalah Al-Furqon Edisi 8 Tahun 11 1433 H/2012 M

Artikel www.PengusahaMuslim.com


Artikel asli: https://pengusahamuslim.com/3091-pentingnya-barang-bukti-1640.html